Thursday, March 17, 2016

Cerbung : Putri Air vs Pangeran Api #2



Hari berlalu, tak tahu apa yang merasukinya. Andita tidak bisa berhenti untuk menghubungi Gian lewat pesan singkat, berbicara dengan Gian benar-benar suatu hiburan tersendiri untuknya. mungkin karena ia kesepian, mungkin juga karena Gian memang orang yang asik untuk bisa diajak bicara. Andita selalu mencari celah untuk memulai obrolan. apa saja ia jadikan alasan untuk menghubungi Gian. kadang Gian menanggapi pesan singkatnya itu tapi tak jarang pula tak ada balasan. 

Tiba-tiba ada rasa lain yang mengusik perasaan Andita, ia seperti tak punya harga diri. ia merasa seperti seorang wanita murahan yang kerjanya hanya bisa menganggu seorang pria lewat pesan singkat setiap hari. ada yang tidak beres. itu bukan dirinya. ia bukan wanita seperti itu. yakin Andita dalam hati. segera Andita putuskan untuk kembali menata sikap. sebisa mungkin ia akan tahan keinginannya untuk menghubungi Gian terlebih dulu. Hatinya berkecamuk, satu sisi ia ingin tetap bisa berbicara dengan Gian tapi di sisi lain harga dirinya menolak tindakannya itu. "tidak...tidak..tidak boleh seperti ini, ini tidak benar !" kecam Andita pada dirinya sendiri tiap ia mulai merasa ingin menghubungi Gian.

Andita duduk di pinggir jalan raya sambil menatap lalu lalang kendaraan di dekat pintu perlintasan kereta api. suasana senja memang yang paling menenangkannya. ia suka ketika langit terang mulai berganti pekatnya malam. Sirine palang pintu perlintasan kereta berbunyi, Andita menatap bulan yang sudah mulai terang benderang. sebuah kereta antar kota melintas perlahan. lampu-lampu kendaraan ikut menambah hikmat perasaannya. sesekali ia menatap layar handphonenya dan mulai sibuk membaca obrolan terakhirnya bersama Gian. tampak senyum kecil mengembang, tapi tak lama raut pilu lebih kentara memenuhi wajahnya. 

Andita bergeming, segera ia tutup layar hanphonenya itu, lalu mengarahkan perhatian pada ibunya yang nampak sibuk melayani beberapa orang pembeli. lapak tempat ibunya berjualan memang selalu ramai akhir-akhir ini. banyak pembeli yang menjadi langganan tetap, mereka berkata bahwa minuman segar yang dijual ibunya hampir sama enaknya dengan minuman yang dijual di mall-mall besar.

Sesekali Andita mengajak ngobrol ibunya yang masih sibuk melayani pembeli. sampai ia mendapati sebuah pesan singkat, pesan singkat dari Gian. deg, Andita langsung merasa was-was.  ia tak tahu harus senang atau sedih. perasaannya campur aduk. tapi ia tak bisa mengabaikan Gian. jadi, malam itu ia kembali mengobrol lewat pesan singkat bersama Gian.

Rasanya tak menentu. Andita benar-benar bingung. saat mengobrol lewat pesan singkat, ia merasa bahwa dirinya dan Gian tampak seperti dua orang yang sudah sangat akrab, tapi ketika mereka bertatap muka langsung. keduanya malah saling acuh satu sama lain. bukan salah Gian, tapi lebih pada dirinya sendiri, Andita selalu menjaga jarak. entah kenapa ia tak mau orang lain tahu tentang kedekatan mereka. 

Sampai satu hari Gian mendekati meja kerja Andita sambil membawa tas ransel, disimpannya tas ransel itu di samping meja. Andita bergeming. "Nitip ya, coba cek dalamnya !" seru Gian sambil berlalu pergi. Andita membuka tas ransel milik Gian, dilihatnya sebuah buku tebal bersampul putih  merah layaknya bendera tapi ada sedikit warna hitam sebagai penegas nama tokoh di dalam buku tersebut. Andita tampak Antusias, entah kenapa ia merasa senang padahal sebelumnya ia hampir saja melupakan perkara buku itu.

Ya, Gian pernah bercerita tentang seorang tokoh. tokoh yang sepertinya sangat ia sukai. Gian memang pernah mengatakan bahwa ia sangat senang dengan sesuatu yang berbau filosofi. ia senang pada pandangan kebenaran. ia juga bercerita bagaimana susahnya ketika ia hendak membeli buku itu. "itu buku langka.." katanya pada Andita saat ia menjanjikan akan meminjamkan buku itu. 

Dengan senyum terkembang Andita mengeluarkan buku tersebut dari dalam tas ransel, tapi Gian segera memintanya untuk menyembunyikannya di balik meja. sepertinya Gian tak mau ada orang yang melihat. malu katanya orang bodoh seperti dia bisa punya selera membaca buku macam begitu. Andita hanya tersenyum. 

Sambil membungkusnya dengan plastik agar tak kena air hujan.  Andita membawa buku itu pulang ke rumah, itu adalah buku yang sangat tebal.  Andita tak ingat kapan terakhir kali ia membaca buku yang tebalnya macam buku itu. ada rasa malas. tapi tak enak jika ia tak membaca buku itu, padahal orang yang meminjamkannya sudah susah-susah membawanya. 

Halaman pertama sangat membosankan, hampir saja Andita urung untuk meneruskan membaca buku itu, dan menunggu sekitar tiga hari untuk mengembalikannya. tapi ada satu bagian yang menyentuh jiwanya. kesan yang ia dapat dari kematian seseorang yang hidup dalam sepinya sendiri. ia yang berarti bagi banyak orang tapi tak pernah merasakan berarti dalam dirinya sendiri. 

Tokoh yang hebat, Andita larut dalam catatan-catatan harian yang ada dalam buku tersebut. sebenarnya banyak yang ia tak mengerti. tapi tak sedikit pula yang mengesankannya. itu adalah buku yang bagus, meskipun tidak terlalu sempurna karena banyak potongan-potongan cerita yang jadi terasa samar. sekitar satu minggu kemudian Andita akhirnya mengembalikan buku itu pada Gian, ia senang membahas apa yang ada di dalamnya. meskipun ternyata sampai saat ini Gian belum pernah menamatkannya. 

hmmm... lagi-lagi pandangan Andita mulai berubah tentang Gian. anak laki-laki yang tidak punya tujuan hidup itu ternyata sangat menarik. Andita tak bisa mengelak lagi, ia tak mau menyia-nyiakan kesempatannya untuk banyak bertukar pikiran dengan Gian. harga dirinya jadi tak terlalu penting. "aku tak mengoda, jadi kenapa harus merasa seperti wanita murahan?" pikir Andita. 


Cerita sebelumnya..                                                                                                      Bersambung ....






























No comments: